Sekutu menguasai medan (1943)

Setelah Kampanye Guadalcanal, Sekutu memulai sejumlah operasi melawan Jepang di Pasifik. Pada bulan Mei 1943, pasukan Sekutu dikirim untuk mengusir pasukan Jepang dari Kepulauan Aleut,[175] dan segera memulai operasi besar untuk mengisolasi Rabaul dengan menduduki pulau-pulau sekitarnya, dan menembus perimeter Pasifik Tengah Jepang di Kepulauan Gilbert dan Marshall.[176] Pada akhir Maret 1944, Sekutu menyelesaikan kedua misi ini, dan selain itu menetralisasi pangkalan Jepang di Truk di Kepulauan Caroline. Bulan April, Sekutu melancarkan operasi mencaplok kembali Nugini Barat.[177]

Di Uni Soviet, baik Jerman dan Soviet menghabiskan musim semi dan awal musim panas 1943 dengan bersiap-siap untuk serangan besar di Rusia Tengah. Tanggal 4 Juli 1943, Jerman menyerang pasukan Soviet di sekitar Kursk Bulge. Dalam satu minggu, pasukan Jerman lelah menghadapi pertahanan Soviet yang sangat teratur[178][179] dan, untuk pertama kalinya dalam perang ini, Hitler membatalkan sebuah operasi sebelum memperoleh kesuksesan taktis atau operasional.[180] Keputusan ini sebagian dipengaruhi oleh invasi Sisilia oleh Sekutu Barat pada 9 Juli yang, bersama kegagalan-kegagalan Italia sebelumnya, berujung pada penggulingan dan penahanan Mussolini pada akhir bulan itu.[181]

Tanggal 12 Juli 1943, Soviet melancarkan serangan balasannya sendiri, sehingga memupuskan harapan apapun bagi Angkatan Darat Jerman untuk memenangkan pertempuran atau buntu di timur. Kemenangan Soviet di Kursk menandai kejatuhan superioritas Jerman[182] dan memberi Uni Soviet inisiatif di Front Timur.[183][184] Jerman berusaha menstabilkan front timur mereka di sepanjang garis Panther-Wotan yang sangat dipertahankan, namun Soviet berhasil mendobraknya di Smolensk dan Serangan Dnieper Hilir.[185]

Pada awal September 1943, Sekutu Barat menyerbu daratan Italia, diikuti gencatan senjata Italia dengan Sekutu.[186] Jerman menanggapinya dengan melumpuhkan pasukan Italia, mengambil alih kendali militer di wilayah Italia,[187] dan membuat serangkaian garis pertahanan.[188] Pasukan khusus Jerman kemudian menyelamatkan Mussolini, yang kemudian mendirikan negara klien baru di Italia dudukan Jerman bernama Republik Sosial Italia.[189] Sekutu Barat berperang melintasi beberapa garis hingga garis pertahanan utama Jerman pada pertengahan November.[190]

Operasi Jerman di Atlantik juga terganggu. Pada Mei 1943, dengan efektifnya serangan balasan Sekutu, kerugian kapal selam Jerman yang besar memaksa kampanye laut Atlantik Jerman ditunda.[191] Pada bulan November 1943, Franklin D. Roosevelt dan Winston Churchill bertemu dengan Chiang Kai-shek di Kairo[192] dan Joseph Stalin di Teheran.[193] Konferensi pertama menentukan pengembalian teritori Jepang pascaperang,[192] sementara yang terakhir menghasilkan perjanjian bahwa Sekutu Barat akan menyerbu Eropa pada tahun 1944 dan Uni Soviet akan menyatakan perang terhadap Jepang dalam tiga bulan setelah kekalahan Jerman.[193]

Sejak November 1943, selama tujuh minggu di Pertempuran Changde, Tiongkok memaksa Jepang memasuki perang atrisi yang merugikan sambil menunggu bantuan Sekutu.[194][195] Bulan Januari 1944, Sekutu melancarkan serangkaian serangan di Italia terhadap garis di Monte Cassino dan berupaya menembusnya dengan mendarat di Anzio.[196] Pada akhir Januari, serangan besar Soviet mengusir pasukan Jerman dari wilayah Leningrad,[197] dan mengakhiri pengepungan paling mematikan dan terlama sepanjang sejarah.

Serangan Soviet selanjutnya terhalang di perbatasan Estonia sebelum perang oleh Grup Angkatan Darat Utara Jerman yang dibantu penduduk Estonia yang berharap menetapkan kembali kemerdekaan nasional mereka. Penundaan ini memperlambat operasi Soviet selanjutnya di kawasan Laut Baltik.[198] Pada akhir Mei 1944, Soviet berhasil membebaskan Krimea, mengusir pasukan Poros besar-besaran dari Ukraina, dan melakukan terobosan ke teritori Rumania, yang dipukul balik oleh pasukan Poros.[199] Serangan Sekutu di Italia berhasil dan, dengan mengizinkan sejumlah divisi Jerman mundur, pada tanggal 4 Juni Roma ditaklukkan.[200]

Sekutu mengalami berbagai keberhasilan di daratan Asia. Bulan Maret 1944, Jepang melancarkan invasi pertama dari dua rencananya, operasi melawan posisi Britania di Assam, India,[201] dan kemudian mengepung posisi Persemakmuran di Imphal dan Kohima.[202] Bulan Mei 1944, pasukan Britania melakukan serangan balasan yang mendorong tentara Jepang kembali ke Burma,[202] dan pasukan Tiongkok yang menyerbu Burma utara pada akhir 1943 mengepung tentara Jepang di Myitkyina.[203] Invasi Jepang kedua berupaya menghancurkan pasukan tempur utama Tiongkok, melindungi jalur kereta api di antara teritori dudukan Jepang dan menduduki lapangan udara Sekutu.[204] Bulan Juni, Jepang telah menguasai provinsi Henan dan memulai serangan baru terhadap Changsha di provinsi Hunan.[205]

Kamp konsentrasi dan perbudakan

Nazi bertanggung jawab atas terjadinya Holocaust, yaitu pembunuhan sekitar enam juta (meskipun jumlahnya diragukan) kaum Yahudi (kebanyakan Ashkenazim), serta dua juta etnis Polandia dan empat juta orang lainnya yang dianggap "tidak layak hidup" (termasuk orang cacat dan sakit jiwa, tahanan perang Soviet, homoseksual, Freemason, Saksi-Saksi Yehuwa, dan Romani) sebagai bagian dari program pemusnahan dengan sengaja. Sekitar 12 juta orang, kebanyakan penduduk Eropa Timur, dipekerjakan sebagai buruh paksa di ekonomi perang Jerman.[306] Terlepas dari semua itu, ada beberapa pihak yang meragukan jumlah korban Holocoust. Mereka beranggapan bahwa korban Holocoust tidak sampai mencapai 6 juta orang, melainkan hanya ratusan ribu saja. Peristiwa ini juga dianggap oleh pihak-pihak tertentu sebagai propaganda untuk menarik simpati terhadap berdirinya negara Israel. Banyaknya negara-negara Eropa memberikan hukuman bagi siapa saja yang tidak percaya pada peristiwa Holocoust dan seringnya peristiwa ini ditunjukkan dalam film-film dan dalam buku-buku sejarah, membuat pihak-pihak tersebut ragu akan kebenaran peristiwa ini. Namun, terlepas dari semua keraguan itu, peristiwa pembantaian dan penyiksaan terhadap Yahudi benar-benar ada, meskipun jumlah korbannya masih kontroversial.

Selain kamp konsentrasi Nazi, gulag (kamp buruh) Soviet mengakibatkan kematian warga sipil negara-negara yang diduduki seperti Polandia, Lituania, Latvia, dan Estonia, serta tahanan perang Jerman dan bahkan warga sipil Soviet yang dianggap mendukung Nazi.[307] Enam puluh persen tahanan perang Jerman di Soviet tewas sepanjang perang.[308] Richard Overy memberi jumlah 5,7 juta tahanan perang Soviet. Dari jumlah tersebut, 57 persen meninggal dunia atau dibunuh dengan jumlah 3,6 juta orang.[309] Mantan tahanan perang Soviet dan warga sipil yang pulang diperlakukan dengan kecurigaan luar biasa sebagai pendukung Nazi yang potensial, dan beberapa di antara mereka dikirim ke Gulag setelah diperiksa NKVD.[310]

Kamp tahanan perang Jepang, kebanyakan dipakai sebagai kamp buruh, juga memiliki tingkat kematian tinggi. Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh menemukan tingkat kematian tahanan Barat adalah 27,1 persen (37 persen untuk tahanan perang Amerika Serikat),[311] tujuh kali lebih tinggi daripada tahanan perang di Jerman dan Italia.[312] Sementara 37.583 tahanan dari Britania Raya, 28.500 dari Belanda, dan 14.743 dari Amerika Serikat dilepaskan setelah penyerahan diri Jepang, tahanan Tiongkok yang dilepas hanya 56 orang.[313]

Menurut sejarawan Zhifen Ju, sedikitnya lima juta warga sipil Tiongkok dari Tiongkok utara dan Manchukuo diperbudak antara 1935 dan 1941 oleh Dewan Pembangunan Asia Timur, atau Kōain, untuk bekerja di pertambangan dan industri perang. Setelah 1942, jumlah ini mencapai 10 juta orang.[314] U.S. Library of Congress memperkirakan bahwa di Jawa, antar 4 dan 10 juta romusha (bahasa Indonesia: "buruh manual"), dipaksa bekerja oleh militer Jepang. Sekitar 270.000 buruh Jawa dikirim ke wilayah pendudukan Jepang lain di Asia Tenggara, dan hanya 52.000 orang yang pulang ke Jawa.[315]

Pada tanggal 19 Februari 1942, Roosevelt menandatangani Perintah Eksekutif 9066 yang menahan ribuan orang Jepang, Italia, Jerman Amerika, dan sejumlah emigran dari Hawaii yang mengungsi setelah pengeboman Pearl Harbor sampai perang berakhir. Pemerintah A.S. dan Kanada menahan 150.000 warga Jepang Amerika.[316][317] Selain itu, 14.000 penduduk Jerman dan Italia di A.S. yang dianggap sebagai risiko keamanan juga ditahan.[318]

Sesuai perjanjian Sekutu pada Konferensi Yalta, jutaan tahanan perang dan warga sipil dimanfaatkan sebagai buruh paksa oleh Uni Soviet.[319] Dalam hal Hungaria, penduduknya dipaksa bekerja untuk Uni Soviet sampai 1955.[320]

Korban dan kejahatan perang

Perkiraan total korban perang bervariasi, karena banyak kematian yang tidak tercatat. Kebanyakan pihak memperkirakan sekitar 60 juta orang tewas dalam perang, termasuk 20 juta tentara dan 40 juta warga sipil.[281][282][283] Banyak warga sipil tewas akibat wabah, kelaparan, pembantaian, pengeboman, dan genosida yang disengaja. Uni Soviet kehilangan sekitar 27 juta rakyatnya sepanjang perang,[284] termasuk 8,7 juta personel militer dan 19 juta warga sipil. Pangsa korban jiwa militer terbesar adalah etnis Rusia (5.756.000), diikuti etnis Ukraina (1,377,400).[285] Satu dari empat warga sipil Sovet dibunuh atau terluka dalam perang ini.[286] Jerman mengalami 5,3 juta kematian militer, kebanyakan di Front Timur dan sepanjang pertempuran terakhir di Jerman.[287]

Dari total korban tewas pada Perang Dunia II, sekitar 85 persen—kebanyakan Soviet dan Tiongkok—berada di pihak Sekutu dan 15 persen sisanya di pihak Poros. Sebagian besar kematian ini diakibatkan oleh kejahatan perang yang dilakukan pasukan Jerman dan Jepang di wilayah pendudukan. Sekitar 11[288] sampai 17 juta[289] warga sipil tewas akibat kebijakan ideologi Nazi secara langsung maupun tidak langsung, termasuk genosida sistematis sekitar enam juta kaum Yahudi sepanjang Holocaust ditambah lima juta bangsa Roma, homoseksual, serta Slav dan suku bangsa atau kaum minoritas lainnya.[290]

Secara kasar 7,5 juta warga sipil tewas di Tiongkok selama pendudukan Jepang.[291] Ratusan ribu (perkiraan bervariasi) etnis Serbia, bersama gipsi dan Yahudi, dibunuh oleh Ustaše Kroasia yang berpihak pada Poros di Yugoslavia,[292] dengan pembunuhan balas dendam terhadap warga sipil Kroasia tepat setelah perang berakhir.

Kekejaman Jepang yang paling terkenal adalah Pembantaian Nanking, yaitu ketika sekian ratus ribu warga sipil Tiongkok diperkosa dan dibunuh.[293] Antara 3 juta hingga lebih dari 10 juta warga sipil, kebanyakan etnis Tiongkok, dibunuh oleh pasukan pendudukan Jepang.[294] Mitsuyoshi Himeta melaporkan 2,7 juta korban jiwa selama dilaksanakannya Sankō Sakusen. Jenderal Yasuji Okamura menerapkan kebijakan ini di Heipei dan Shantung.[295]

Pasukan Poros memakai senjata biologis dan kimia dalam jumlah terbatas. Italia memakai gas mustar saat menaklukkan Abisinia,[296] sementara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang memakai berbagai macam senjata saat menyerbu dan menduduki Tiongkok (lihat Unit 731)[297][298] dan pada konflik awal melawan Soviet.[299] Baik Jerman dan Jepang menguji senjata-senjata tersebut terhadap warga sipil[300] serta tahanan perang.[301]

Meski banyak aksi Poros diadili dalam pengadilan internasional pertama di dunia,[302] insiden yang diakibatkan pihak Sekutu tidak diadili. Misalnya, pemindahan penduduk di Uni Soviet dan penahanan warga Jepang Amerika di Amerika Serikat; Operasi Keelhaul,[303] pengusiran penduduk Jerman setelah Perang Dunia II, pemerkosaan pada pendudukan Jerman; pembantaian Katyn oleh Uni Soviet, yang tanggung jawabnya dituduhkan kepada Jerman. Sejumlah besar kematian akibat kelaparan juga disebabkan oleh perang, seperti kelaparan Bengal 1943 dan kelaparan Vietnam 1944–45.[304]

Sejumlah sejarawan, seperti Jörg Friedrich, menegaskan bahwa pengeboman massal kawasan berpenduduk di wilayah musuh, termasuk Tokyo dan terutama kota-kota Jerman di Dresden, Hamburg, dan Koln oleh Sekutu Barat, yang mengakibatkan kehancuran lebih dari 160 kota dan kematian 600.000 warga sipil Jerman, bisa dianggap sebagai kejahatan perang.[305]

Invasi Jepang ke Uni Soviet dan Mongolia (1938)

Pada tanggal 29 Juli 1938, Jepang menyerbu Uni Soviet dan kalah di Pertempuran Danau Khasan. Meski pertempuran tersebut dimenangkan Soviet, Jepang menyebutnya seri dan buntu, dan pada tanggal 11 Mei 1939, Jepang memutuskan memindahkan perbatasan Jepang-Mongolia sampai Sungai Khalkhin Gol melalui pemaksaan. Setelah serangkaian keberhasilan awal, serangan Jepang di Mongolia digagalkan oleh Pasukan Merah yang menandakan kekalahan besar pertama Angkatan Darat Kwantung Jepang.[30][31]

Pertempuran ini meyakinkan sejumlah faksi pemerintahan Jepang bahwa mereka harus fokus berkonsiliasi dengan pemerintah Soviet demi menghindari ikut campur Soviet dalam perang melawan Tiongkok dan mengalihkan perhatian militer mereka ke selatan, yaitu ke jajahan Amerika Serikat dan Eropa di Pasifik, serta mencegah penggulingan pemimpin militer Soviet berpengalaman seperti Georgy Zhukov, yang kelak memainkan peran penting dalam mempertahankan Moskow.[32]

Sekutu mendekat (1944)

Pada tanggal 6 Juni 1944 (dikenal sebagai D-Day), setelah tiga tahun ditekan Soviet,[139] Sekutu Barat menyerbu Prancis Utara. Setelah menyusun kembali beberapa divisi Sekutu dari Italia, mereka juga menyerang Prancis Selatan.[206] Semua pendaratan ini berhasil dan berakhir dengan kekalahan unit Angkatan Darat Jerman di Prancis. Paris dibebaskan oleh pemberontak lokal yang dibantu Pasukan Prancis Merdeka pada tanggal 25 Agustus[207] dan Sekutu Barat terus memukul pasukan Jerman di Eropa Timur sepanjang paruh terakhir tahun ini. Sebuah upaya bergerak maju melintasi Jerman Utara yang diawali dengan operasi udara besar-besaran di Belanda tidak berhasil.[208] Setelah itu, Sekutu Barat pelan-pelan masuk wilayah Jerman, namun gagal menyeberangi Sungai Rur dalam serangan besar. Di Italia, serbuan Sekutu juga terhambat saat mereka melintasi garis pertahanan besar Jerman terakhir.

Pada tanggal 22 Juni, Soviet mengadakan serangan strategis di Belarus ("Operasi Bagration") yang berakhir dengan nyaris kehancuran total Pusat Grup Angkatan Darat Jerman.[209] Tidak lama selepas itu, serangan strategis Soviet lainnya mengusir tentara Jerman dari Ukraina Barat dan Polandia Timur. Pergerakan Soviet sukses memaksa pasukan pemberontak di Polandia memulai sejumlah pemberontakan, meski yang terbesar di Warsawa, serta Pemberontakan Slowakia di selatan, tidak dibantu Soviet dan dipadamkan oleh pasukan Jerman.[210] Serangan strategis Pasukan Merah di Rumania timur memecah belah dan menghancurkan pasukan Jerman di sana sekaligus berhasil menggulingkan pemerintahan di Rumania dan Bulgaria, diikuti dengan memihaknya negara-negara tersebut ke Sekutu.[211]

Pada bulan September 1944, tentara Angkatan Darat Merah Soviet melaju hingga Yugoslavia dan memaksa penarikan cepat Grup Angkatan Darat Jerman E dan F di Yunani, Albania, dan Yugoslavia untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran.[212] Pada saat ini, Partisan Komunis pimpinan Marsekal Josip Broz Tito, yang memulai kampanye gerilya sukses melawan pendudukan sejak 1941, menguasai sebagian besar teritori Yugoslavia dan terlibat dalam menunda serangan terhadap pasukan Jerman di selatan. Di Serbia utara, Pasukan Merah, dengan bantuan terbatas dari pasukan Bulgaria, membantu Partisan dalam pembebasan bersama ibu kota Belgrade tanggal 20 Oktober. Beberapa hari kemudian, Soviet melancarkan serangan massal terhadap Hungaria dudukan Jerman yang berlangsung sampai jatuhnya Budapest pada bulan Februari 1945.[213] Kebalikan dengan kemenangan impresif Soviet di Balkan, pemberontakan Finlandia terhadap serangan Soviet di Tanah Genting Karelia menggagalkan pendudukan Soviet di Finlandia dan berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata Soviet-Finlandia pada kondisi relatif kondusif,[214][215] disertai memihaknya Finlandia ke Sekutu.

Pada awal Juli, pasukan Persemakmuran di Asia Tenggara menggagalkan pengepungan Jepang di Assam, memukul pasukannya kembali hingga Sungai Chindwin[216] sementara Tiongkok mencaplok Myitkyina. Di Tiongkok, Jepang menuai kesuksesan besar, berhasil mencaplok Changsha pada pertengahan Juni dan kota Hengyang pada awal Agustus.[217] Selepas itu, mereka menyerbu provinsi Guangxi, memenangkan pertempuran besar melawan pasukan Tiongkok di Guilin dan Liuzhou pada akhir November[218] dan berhasil menyatukan pasukan mereka di Tiongkok dan Indochina pada pertengahan Desember.[219]

Di Pasifik, pasukan Amerika Serikat terus menekan mundur perimeter Jepang. Pada pertengahan Juni 1944, mereka memulai serangan ke Kepulauan Mariana dan Palau, dan dengan telak mengalahkan pasukan Jepang pada Pertempuran Laut Filipina. Kekalahan-kekalahan ini memaksa Perdana Menteri Jepang Tōjō mengundurkan diri dan memberi Amerika Serikat keunggulan atas pangkalan udara baru untuk melancarkan serangan bom besar-besaran di kepulauan utama Jepang. Pada akhir Oktober, pasukan Amerika Serikat menyerbu pulau Leyte, Filipina; tidak lama kemudian, angkatan laut Sekutu mencetak kemenangan besar pada Pertempuran Teluk Leyte, salah satu pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah.[220]

Poros runtuh, Sekutu menang (1945)

Tanggal 16 Desember 1944, Jerman mengupayakan kesuksesan terakhirnya di Front Barat dengan mengerahkan sisa-sisa pasukan cadangannya untuk melancarkan serangan balasan massal di Ardennes untuk memecah belah Sekutu Barat, mengepung sebagian besar tentara Sekutu Barat dan menaklukkan pelabuhan suplai utama mereka di Antwerp demi mencapai penyelesaian politik.[221] Pada Januari, serangan ini digagalkan tanpa satu tujuan strategis pun yang tercapai.[221] Di Italia, Sekutu Barat tetap buntu di garis pertahanan Jerman. Pada pertengahan Januari 1945, Soviet menyerbu Polandia, bergerak dari Sungai Vistula ke Sungai Oder di Jerman, dan menduduki Prusia Timur.[222] Tanggal 4 Februari, para pemimpin A.S., Britania Raya, dan Soviet bertemu di Konferensi Yalta. Mereka menyetujui pendudukan di Jerman pascaperang,[223] dan Uni Soviet bergabung dalam perang melawan Jepang.[224]

Pada bulan Februari, Soviet menginvasi Silesia dan Pomerania, sementara Sekutu Barat memasuki Jerman Barat dan mendekati Sungai Rhine. Bulan Maret, Sekutu Barat melintasi Rhine di utara dan selatan Ruhr, mengepung Grup Agkatan Darat Jerman B,[225] sementara Soviet melaju ke Wina. Pada awal April, Sekutu Barat akhirnya berhasil membuat kemajuan di Italia dan bergerak melintasi Jerman Barat, sementara pasukan Soviet menyerbu Berlin pada akhir April; kedua pasukan bertemu di sungai Elbe tanggal 25 April. Tanggal 30 April 1945, Reichstag diduduki dan menandakan kekalahan militer Reich Ketiga.[226]

Sejumlah perubahan kepemimpinan terjadi pada masa ini. Tanggal 12 April, Presiden A.S. Roosevelt meninggal dunia dan digantikan oleh Harry Truman. Benito Mussolini dibunuh oleh partisan Italia tanggal 28 April.[227] Dua hari kemudian, Hitler bunuh diri dan digantikan oleh Laksamana Agung Karl Dönitz.[228]

Pasukan Jerman menyerah di Italia pada tanggal 29 April. Instrumen Penyerahan Diri Jerman ditandatangani tanggal 7 Mei di Reims,[229] dan diratifikasi tanggal 8 Mei di Berlin.[230] Pusat Grup Angkatan Darat Jerman bertahan di Praha sampai 11 Mei.[231]

Di teater Pasifik, pasukan Amerika Serikat dibantu Persemakmuran Filipina bergerak maju di Filipina, membebaskan Leyte pada akhir April 1945. Mereka mendarat di Luzon bulan Januari 1945 dan mencaplok Manila bulan Maret setelah pertempuran yang menghancurkan kota ini. Pertempuran berlanjut di Luzon, Mindanao dan pulau-pulau lain di Filipina sampai berakhirnya perang.[232]

Bulan Mei 1945, tentara Australia mendarat di Kalimantan dan menduduki ladang minyak di sana. Pasukan Britania, Amerika Serikat, dan Tiongkok mengalahkan Jepang di Burma utara pada bulan Maret, dan Britania mencapai Rangoon pada tanggal 3 Mei.[233] Pasukan Tiongkok mulai balas menyerang pada Pertempuran Hunan Barat yang pecah antara 6 April dan 7 Juni 1945. Pasukan Amerika Serikat juga bergerak ke Jepang, mencaplok Iwo Jima pada bulan Maret, dan Okinawa pada akhir Juni.[234] Pesawat pengebom Amerika Serikat menghancurkan kota-kota Jepang dan kapal selam Amerika Serikat memutuskan impor Jepang.[235]

Tanggal 11 Juli, para pemimpin Sekutu bertemu di Potsdam, Jerman. Mereka menyetujui perjanjian awal tentang Jerman,[236] dan menegaskan tuntutan penyerahan diri semua pasukan Jepang, dengan menyatakan bahwa "alternatif bagi Jepang adalah kehancuran dalam waktu singkat".[237] Dalam konferensi ini, Britania Raya mengadakan pemilu dan Clement Attlee menggantikan Churchill sebagai Perdana Menteri.[238]

Saat Jepang terus mengabaikan persyaratan Potsdam, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada awal Agustus. Di antara kedua pengeboman ini, Soviet, sesuai perjanjian Yalta, menyerbu Manchuria dudukan Jepang dan dengan cepat mengalahkan Angkatan Darat Kwantung yang saat itu merupakan pasukan tempur Jepang terbesar.[239][240] Pasukan Merah juga menduduki Pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah dengan penandatanganan dokumen penyerahan diri di atas geladak kapal perang Amerika Serikat USS Missouri pada tanggal 2 September 1945, sehingga mengakhiri perang ini.[229]

Sekutu mendirikan pemerintahan pendudukan di Austria dan Jerman. Negara pertama menjadi negara netral dan tidak memihak dengan blok politik manapun. Negara terakhir dibelah menjadi zona pendudukan barat dan timur yang dikuasai Sekutu Barat dan Uni Soviet. Program denazifikasi di Jerman melibatkan pengadilan penjahat perang Nazi dan penggulingan mantan Nazi dari kekuasaan, meski kebijakan ini lebih condong ke amnesti dan reintegrasi mantan Nazi ke masyarakat Jerman Barat.[241]

Jerman kehilangan seperempat wilayahnya sebelum perang (1937), wilayah timur: Silesia, Neumark dan sebagian besar Pomerania diambil alih Polandia; Prusia Timur dibagi antara Polandia dan Uni Soviet, diikuti dengan pengusiran 9 juta warga Jerman dari provinsi-provinsi tersebut, serta 3 juta warga Jerman dari Sudetenland di Cekoslowakia ke Jerman. Pada 1950-an, satu dari lima orang Jerman Barat adalah pengungsi dari timur. Uni Soviet juga menduduki provinsi milik Polandia di sebelah timur Garis Curzon (melibatkan pengusiran 2 juta warga Polandia),[242] Rumania Timur,[243][244] dan sebagian Finlandia timur,[245] serta tiga negara Baltik.[246][247]

Demi mempertahankan perdamaian,[248] Sekutu mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang resmi berdiri tanggal 24 Oktober 1945,[249] dan mengadopsi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 sebagai standar umum bagi semua negara anggotanya.[250] Kekuatan-kekuatan besar yang menjadi pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.[1] Kelima anggota tetap ini masih ada sampai sekarang, meski terjadi perubahan dua kursi, antara Republik Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok tahun 1971, dan antara Uni Soviet dan negara penggantinya, Federasi Rusia, setelah pembubaran Uni Soviet. Aliansi antara Sekutu Barat dan Uni Soviet mulai memburuk, bahkan sejak sebelum perang berakhir.[251]

Jerman dibagi secara de facto, dan dua negara merdeka, Republik Federal Jerman dan Republik Demokratis Jerman[252] dibentuk di dalam perbatasan zona pendudukan Sekutu dan Soviet. Seluruh Eropa terbagi antara cakupan pengaruh Barat dan Soviet.[253] Kebanyakan negara Eropa timur dan tengah masuk dalam cakupan Soviet yang melibatkan pendirian rezim-rezim Komunis dengan dukungan penuh atau setengah dari otoritas pendudukan Soviet. Akibatnya, Polandia, Hungaria,[254] Cekoslowakia,[255] Rumania, Albania,[256] dan Jerman Timur menjadi negara satelit Soviet. Yugoslavia Komunis melaksanakan kebijakan merdeka penuh yang menciptakan ketegangan dengan Uni Soviet.[257]

Pembagian dunia pascaperang diresmikan oleh dua aliansi militer internasional, NATO pimpinan Amerika Serikat dan Pakta Warsawa pimpinan Soviet;[258] periode panjang ketegangan politik dan persaingan militer di antara mereka, Perang Dingin, akan dilengkapi oleh perlombaan senjata dan perang proksi yang tidak terduga.[259]

Di Asia, Amerika Serikat memimpin pendudukan Jepang dan menguasai bekas pulau-pulau Jepang di Pasifik Barat, sementara Soviet menganeksasi Sakhalin dan Kepulauan Kuril.[260] Korea, sebelumnya di bawah kekuasaan Jepang, dibagi dan diduduki oleh Amerika Serikat di Selatan dan Uni Soviet di Utara antara 1945 dan 1948. Republik terpisah muncul di kedua sisi garis paralel ke-38 pada tahun 1948, masing-masing mengklaim sebagai pemerintahan sah untuk seluruh Korea dan berujung pada pecahnya Perang Korea.[261]

Di Tiongkok, pasukan nasionalis dan komunis melanjutkan perang saudara pada bulan Juni 1946. Pasukan komunis menang dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok di daratan, sementara pasukan nasionalis mundur ke Taiwan tahun 1949.[262] Di Timur Tengah, penolakan Arab terhadap Rencana Pembagian Palestina Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pembentukan Israel menandai eskalasi konflik Arab-Israel. Saat kekuatan-kekuatan kolonial Eropa berupaya merebut kembali sebagian atau semua imperium kolonialnya, kehilangan prestise dan sumber daya saat perang justru menggagalkan upaya ini dan mendorong dilakukannya dekolonisasi.[263][264]

Ekonomi global menderita akibat perang, meski negara-negara yang terlibat terpengaruh dengan berbagai cara. Amerika Serikat tampil lebih kaya daripada negara lain; negara ini mengalami ledakan bayi dan pada tahun 1950 produk domestik bruto per orangnya lebih tinggi daripada negara-negara besar lain dan Amerika Serikat mendominasi ekonomi dunia.[265][266] Britania Raya dan Amerika Serikat menerapkan kebijakan pelucutan industri di Jerman Barat pada tahun 1945–1948.[267] Akibat perdagangan internasional yang saling tergantung, hal ini menciptakan stagnasi ekonomi di Eropa dan menunda pemulihan Eropa selama beberapa tahun.[268][269]

Pemulihan dimulai dengan reformasi mata uang di Jerman Barat pada pertengahan 1948 dan dipercepat oleh liberalisasi kebijakan ekonomi Eropa yang dipengaruhi Rencana Marshall (1948–1951) baik secara langsung maupun tidak langsung.[270][271] Pemulihan Jerman Barat pasca-1948 disebut-sebut sebagai keajaiban ekonomi Jerman.[272] Selain itu, ekonomi Italia[273][274] dan Prancis juga meroket.[275] Kebalikannya, Britania Raya berada dalam fase kekacauan ekonomi,[276] dan terus memburuk selama beberapa dasawarsa.[277]

Uni Soviet, meski menderita kerugian manusia dan material yang luar biasa, juga mengalami peningkatan pesat produksi pada masa-masa pascaperang.[278] Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, menjadi salah satu ekonomi terkuat dunia pada tahun 1980-an.[279] Tiongkok kembali ke produksi industrinya sebelum perang pada tahun 1952.[280]

Invasi Jepang ke Tiongkok (1937)

Pada bulan Juli 1937, Jepang mencaplok bekas ibu kota kekaisaran Tiongkok Beijing setelah memulai Insiden Jembatan Marco Polo, yang menjadi batu pijakan kampanye Jepang untuk menjajah seluruh wilayah Tiongkok.[27] Uni Soviet segera menandatangani pakta non-agresi dengan Tiongkok untuk memberi dukungan material yang secara efektif mengakhiri kerja sama Tiongkok dengan Jerman sebelumnya. Generalissimo Chiang Kai-shek mengerahkan pasukan terbaiknya untuk mempertahankan Shanghai, tetapi setelah tiga bulan bertempur, Shanghai jatuh. Jepang terus menekan pasukan Tiongkok, mencaplok ibu kota Nanking pada Desember 1937 dan melakukan Pembantaian Nanking.

Pada bulan Juni 1938, pasukan Tiongkok menghentikan serbuan Jepang dengan membanjiri Sungai Kuning; manuver ini memberikan waktu bagi Tiongkok untuk mempersiapkan pertahanan di Wuhan, namun kota ini berhasil direbut pada bulan Oktober.[28] Kemenangan militer Jepang gagal menghentikan pemberontakan Tiongkok yang menjadi tujuan Jepang. Pemerintahan Tiongkok pindah ke pedalaman di Chongqing dan melanjutkan perang.[29]

Pendudukan Eropa dan perjanjian

Di Eropa, Jerman dan Italia semakin keras. Pada bulan Maret 1938, Jerman menganeksasi Austria, lagi-lagi mendapat sedikit perhatian dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[33] Semakin tertantang, Hitler mulai menegaskan klaim Jerman atas Sudetenland, wilayah Cekoslowakia yang didominasi oleh etnis Jerman; dan Prancis dan Britania segera memberikan wilayah ini ke Jerman melalui Perjanjian Munich, yang dibuat melawan keinginan pemerintah Cekoslowakia, dengan imbalan janji tidak meminta wilayah lagi.[34] Sesaat setelah perjanjian ini, Jerman dan Italia memaksa Cekoslowakia menyerahkan wilayah tambahan ke Hungaria dan Polandia.[35] Pada bulan Maret 1939, Jerman menyerbu sisa Cekoslowakia dan membelahnya menjadi Protektorat Bohemia dan Moravia Jerman dan negara klien pro-Jerman bernama Republik Slovak.[36]

Terkejut, ditambah Hitler menuntut Danzig, Prancis dan Britania Raya menjamin dukungan mereka terhadap kemerdekaan Polandia; ketika Italia menguasai Albania pada bulan April 1939, jaminan yang sama diberikan untuk Rumania dan Yunani.[37] Tidak lama setelah janji Prancis-Britania kepada Polandia, Jerman dan Italia meresmikan aliansi mereka sendiri melalui Pakta Baja.[38]

Bulan Agustus 1939, Jerman dan Uni Soviet menandatangani Pakta Molotov–Ribbentrop,[39] sebuah perjanjian non-agresi dengan satu protokol rahasia. Setiap pihak memberikan haknya satu sama lain, "andai terjadi penyusunan wilayah dan politik," terhadap "cakupan pengaruh" (antara Polandia dan Lituania untuk Jerman, dan Polandia timur, Finlandia, Estonia, Latvia, dan Bessarabia untuk Uni Soviet). Pakta ini juga memunculkan pertanyaan tentang keberlangsungan kemerdekaan Polandia.[40]

Front dalam negeri dan produksi

Di Eropa, sebelum pecah perang, Sekutu memiliki keunggulan signifikan dalam hal populasi dan ekonomi. Pada tahun 1938, Sekutu Barat (Britania Raya, Prancis, Polandia, dan Jajahan Britania) memiliki populasi 30 persen lebih besar dan produk domestik bruto 30 persen lebih besar daripada Poros Eropa (Jerman dan Italia); jika koloni disertakan dalam hitungan, Sekutu mendapatkan keunggulan 5:1 dalam jumlah penduduk dan 2:1 dalam PDB.[321] Di Asia pada saat yang sama, Tiongkok memiliki jumlah penduduk enam kali lebih banyak daripada Jepang, tetapi PDB yang 89 persen lebih tinggi; jumlah ini berkurang menjadi populasi tiga kali lebih banyak dan PDB 38 persen lebih tinggi jika koloni-koloni Jepang disertakan dalam hitungan.[321]

Meski keunggulan ekonomi dan populasi Sekutu dimanfaatkan besar-besaran selama serangan blitzkrieg awal Jerman dan Jepang, mereka menjadi faktor penentu pada tahun 1942, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, setelah sebagian besar perang ini menjadi perang atrisi.[322] Sementara kemampuan Sekutu untuk melampaui produksi Poros sering dikaitkan dengan akses Sekutu yang besar ke sumber daya alam, faktor-faktor lain, seperti keengganan Jerman dan Jepang untuk mempekerjakan wanita dalam tenaga kerja,[323][324] pengeboman strategis oleh Sekutu,[325][326] dan peralihan terbaru Jerman ke ekonomi perang[327] sangat berkontribusi besar. Selain itu, baik Jerman maupun Jepang tidak berencana mengadakan perang yang berkepanjangan, dan tidak sanggup melakukannya.[328][329] Untuk meningkatkan produksi mereka, Jerman dan Jepang memanfaatkan jutaan buruh budak;[330] Jerman memanfaatkan 12 juta orang, kebanyakan dari Eropa Timur,[306] sementara Jepang memanfaatkan lebih dari 18 juta orang di Asia Timur Jauh.[314][315]

Di Eropa, pendudukan muncul dalam dua bentuk yang sangat berbeda. Di Eropa Barat, Utara, dan Tengah (Prancis, Norwegia, Denmark, Negara-Negara Hilir, dan wilayah Cekoslowakia yang dianeksasi), Jerman menerapkan kebijakan ekonomi yang berhasil mengumpulkan 69,5 miliar reichmark (27,8 miliar dolar AS) pada akhir perang; jumlah ini tidak meliputi perampokan produk industri, perlengkapan militer, bahan mentah, dan barang-barang lain.[331] Dari situ, pendapatan yang muncul dari negara-negara pendudukan mencapai 40 persen dari pendapatan yang dikumpulkan Jerman dari pajak, jumlah yang meningkat hampir 40 persen dari total pendapatan Jerman sepanjang perang.[332]

Di Timur, keuntungan yang diharapkan dari Lebensraum tidak pernah didapatkan karena garis depan yang berfluktuasi dan kebijakan bumi hangus Soviet memusnahkan sumber daya bagi para penjajah Jerman.[333] Tidak seperti di Barat, kebijakan ras Nazi mengizinkan kekejaman berlebihan terhadap "orang inferior" keturunan Slavik; sebagian besar serbuan Jerman disertai dengan eksekusi massal.[334] Meski kelompok pemberontak berdiri di hampir semua teritori pendudukan, mereka tidak mengganggu operasi Jerman baik di Timur[335] maupun Barat[336] sampai akhir tahun 1943.

Di Asia, Jepang menyebut negara-negara di bawah pendudukannya sebagai bagian dari Lingkup Persemakmuran Asia Timur Raya, yang pada dasarnya merupakan hegemoni Jepang yang diklaim bertujuan membebaskan bangsa yang dikolonisasi.[337] Meski pasukan Jepang awalnya disambut sebagai pembebas dari dominasi Eropa di sejumlah daerah, kekejaman mereka yang berlebihan mengubah opini publik menjadi menentang mereka dalam hitungan minggu.[338] Selama penaklukan awal Jepang, negara ini mencaplok 4.000.000 barel (640.000 m3) minyak (~5.5×105 ton) yang ditinggalkan oleh pasukan Sekutu yang mundur, dan pada tahun 1943 Jepang mampu merebut produksi minyak di Hindia Timur Belanda hingga 50 milliar barel, 76 persen dari tingkat produksinya tahun 1940.[338]

Timnas Indonesia akan melanjutkan petualangan di Kualifikasi Piala Dunia 2026 ronde ketiga bulan ini. Garuda mempunyai potensi melampaui pencapaian Vietnam.

Indonesia akan menjalani dua laga di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Grup C. Jepang dan Arab Saudi yang akan dihadapi.

Duel dengan Jepang dijalani Indonesia pada 15 November 2024. Empat hari berselang Arab Saudi yang gantian dijamu oleh tim Merah-Putih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Kualifikasi Piala Dunia 2026 babak ketiga Grup C, Indonesia sudah mengumpulkan tiga poin hasil empat kali bertanding. Tim asuhan Shin Tae-yong mencatatkan tiga hasil imbang dan sekali menelan kekalahan.

Dengan koleksi poin itu, Indonesia sudah melampaui raihan angka Thailand. Tim Gajah Perang mencatatkan dua poin dalam 10 pertandingan babak ketiga.

Sejauh ini, Vietnam yang menjadi tim ASEAN dengan koleksi poin paling banyak di Kualifikasi Piala Dunia babak ketiga. Golden Star Warrior mencatatkan empat poin pada Kualifikasi Piala Dunia 2022.

Dalam 10 pertandingan, Vietnam menorehkan satu kemenangan, satu hasil imbang, dan delapan kali menelan kekalahan. Indonesia tinggal membutuhkan satu poin untuk menyamai Vietnam.

Indonesia masih menyisakan empat pertandingan di Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 babak ketiga. Selain Jepang dan Arab Saudi, Indonesia akan melawan Australia, Bahrain dan China.

Di laga kandang, Indonesia melawan Jepang, Arab Saudi, Bahrain, dan China. Sementara di laga tandang, Indonesia akan menghadapi Australia dan Jepang.

Dengan Indonesia masih menyisakan banyak laga, Jay Idzes cs masih mempunyai peluang untuk melampaui pencapaian Vietnam di ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia.

PERINGATAN Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto mengenai potensi pecahnya Perang Dunia Ketiga dalam geopolitik global bukanlah pernyataan berlebihan, tetapi refleksi dari realitas yang dihadapi dunia saat ini.

Sebagai Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih Indonesia 2024-2029, Prabowo pada 25 September 2024, dalam sesi dengar pendapat dengan DPR RI, mengingatkan bahwa dunia tengah berada dalam situasi sangat rapuh, dengan ketegangan antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok yang terus meningkat.

Dalam konteks demikian, peran Indonesia sebagai negara dengan kebijakan nonblok dan lokasi strategis di kawasan Indo-Pasifik memiliki signifikansi tersendiri.

Indonesia berada di tengah-tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks, khususnya di kawasan Indo-Pasifik yang menjadi arena persaingan utama antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Ketegangan di Laut Cina Selatan, yang melibatkan klaim teritorial dari berbagai negara, serta kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan ini, telah menciptakan potensi konfrontasi yang dapat memicu konflik lebih luas.

Dalam konteks tersebut, Indonesia harus tetap berpegang pada kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif untuk menjaga stabilitas kawasan dan melindungi kepentingan nasional.

Prinsip nonblok yang dianut Indonesia sejak era Presiden Soekarno terus menjadi landasan penting dalam menghadapi dinamika geopolitik global.

Peringatan Prabowo mengenai Perang Dunia Ketiga menggambarkan bagaimana Indonesia harus tetap waspada terhadap perubahan geopolitik, sambil berupaya menjaga netralitas dalam konflik global yang melibatkan kekuatan besar.

Bersamaan pula pentingnya kesiapsiagaan Indonesia dalam menghadapi ancaman eksternal terejawantahkan.

Dalam geopolitik global yang semakin tidak stabil, kekuatan militer dan pertahanan yang tangguh menjadi kunci untuk menjaga kedaulatan negara.

Oleh karena itu, modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) dan peningkatan kapasitas pertahanan menjadi prioritas penting dalam menjaga keamanan nasional.

Dengan ketegangan global yang meningkat, termasuk kemungkinan pecahnya Perang Dunia Ketiga, Indonesia harus siap menghadapi segala kemungkinan, baik dari segi diplomasi maupun pertahanan.

Konflik Rusia-Ukraina dan potensi eskalasi di Asia Timur antara Amerika Serikat dan Tiongkok menunjukkan bahwa dunia saat ini berada di tepi jurang bencana yang lebih besar.

Ketegangan geopolitik ini tidak hanya mengancam stabilitas kawasan, tetapi juga membawa risiko global yang lebih luas, termasuk kemungkinan penggunaan senjata nuklir.

Dalam menghadapi ancaman global ini, Indonesia harus tetap mengedepankan pendekatan berbasis perdamaian dan kerja sama multilateral.

Melalui ASEAN dan forum-forum internasional lainnya, Indonesia dapat terus berperan sebagai penggerak utama stabilitas kawasan dan global.

Dengan adanya potensi Perang Dunia III, maka ini harus menjadi panggilan bagi Indonesia dan negara-negara lain untuk lebih serius dalam menjaga perdamaian dunia. Serta menghindari provokasi, dan mendorong dialog konstruktif di antara kekuatan besar.

Di tengah ketidakpastian geopolitik global, peran Indonesia sebagai jangkar stabilitas di kawasan Indo-Pasifik menjadi semakin penting.

Dari itu potensi pecahnya Perang Dunia III diperparah oleh kemungkinan penggunaan senjata nuklir. Para pakar pertahanan global telah lama memperingatkan bahwa dalam konflik berskala besar, negara-negara yang memiliki senjata nuklir mungkin tergoda untuk menggunakannya sebagai upaya terakhir dalam mempertahankan kepentingan nasional mereka.

Senjata nuklir, dengan daya destruktif yang luar biasa, akan menghancurkan tidak hanya negara-negara yang terlibat langsung. Namun juga akan menimbulkan dampak global yang merusak lingkungan, ekonomi, dan stabilitas politik internasional.

Prabowo mengingatkan bahwa perang seperti ini tidak akan membedakan antara negara yang terlibat langsung dan yang tidak, karena efeknya akan meluas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki posisi strategis di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia tidak akan luput dari dampak perang global, meskipun tidak terlibat secara langsung.

Letak geografis Indonesia yang berada di jalur perdagangan internasional serta kedekatan dengan negara-negara besar menjadikannya rentan terhadap dampak ekonomi, politik, dan keamanan dari konflik global.

Perang dunia yang melibatkan kekuatan nuklir akan mengganggu stabilitas kawasan. Dan mengancam kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai aspek, termasuk keamanan maritim dan kestabilan ekonomi.

Indonesia harus tetap waspada terhadap perkembangan geopolitik internasional, agar bisa meminimalkan dampak negatif yang mungkin terjadi.